Tugu titik Nol Kilometer |
Di pertigaan simpang aku memulai perjalanan, sekedar mengenal lingkungan tempat lahir alih-alih refreshing. Butuh tekad lebih ternyata dibanding melangkah ke luar kota pelesiran, seperti yang sebelumnya terjadi. Akan tetapi, kali ini harus kucari kenyamanan di tengah kota industri ini supaya lebih dekat dengan wilayah sendiri.
Harus kunikmati saja keberadaan pabrik-pabrik di sisi kiri-kanan jalan yang dilalui. Tiap mereka tetap berdiri kokoh diterpa angin pesisir, namun sesekali menebar aroma kurang bersahabat di hidung. Untung saja, jalanan telah rata oleh aspal sehingga sandungan bebatuan tiada menambahi.
Gapura masuk Pantai Kojong |
Tidak butuh waktu lama akhirnya berhasil juga menemukan persinggahan pertamaku di Anyer, tepatnya di daerah Cikoneng. Pantai Kojong, begitulah penduduk sekitar mengenalnya. Di sini juga terdapat tugu titik nol kilometer, yang katanya baru berdiri sekira dua tahun lalu.
Pintu menuju menara suar, sebelah kiri gapura |
Deretan kendaraan roda empat dan roda dua telah mengisi lahan parkir, tetapi tidak ada seorang petugas pun yang memungut biaya masuk padaku ketika melintasi gapura. Jadilah aku melenggang bebas ke dalam. hehehehe. Sebenarnya, hanya bagi yang berkendara dikenakan tarif parkir sedangkan pejalan kaki sepertiku gratis.
Menara & tugu titik Nol |
Aroma amis menyeruak dari lautan bersamaan dengan deru ombak hendak menggapai daratan, anginpun tak lupa menyapa lembut setiap pengunjung. Setiap kegelisahan yang mendera, seolah diterbangkan angin untuk dibawa ombak menjadi buih yang memecah. Pantai memang selalu berhasil menarik orang untuk datang, dari yang jauh agar mendekat dan yang dekat supaya lebih lekat. Ada yang datang karena ingin menikmati kebersamaan, ada yang cuma ingin foto-foto dan mengeksplor keindahan, tapi tak sedikit juga sekedar jalan-jalan guna mengobati kejenuhan.
Mengetahui antusiasme pengunjung yang berharap dapat mendaki menara mercusuar, sang penjaga menara akhirnya membukakan pintunya. Pak Yetno, begitu beliau memperkenalkan diri, dengan ramah menceritakan bahwa sebenarnya menara ini bukan tempat wisata untuk umum, akan tetapi Dinas Pariwisata menghendaki sebaliknya dengan maksud sebagai edukasi sejarah.
Peta Menara Suar |
Bangunan menara ini menjulang lurus dengan tinggi 75,5 meter dan jaraknya lebih dari 500 meter ke daratan. Terdiri dari tujuh belas lantai, ditambah lantai dasar yang memiliki ruang sempit tempat sumbu atau penyangga mercusuar bernaung. Setiap lantai merupakan gambaran peta dari kepulauan masing-masing daerah. Karena pada dasarnya, setiap menara suar saling terhubung satu sama lain, di mana pusat informasinya terletak di Jakarta.
Ruang sumbu penyangga |
Lorong sumbu penyangga |
Wisatawan bebas melihat-lihat, bahkan diizinkan naik hingga lantai teratas tanpa pendampingan. Hanya saja tangganya sempit dengan ketinggian sekira tujuh puluh derajat, mengharuskan kaki melangkah hati-hati. Terlebih, bangunan ini telah berumur 131 tahun sejak terakhir kali dibangun kembali oleh Raja Belanda Z.M Willem III.
Pak Yetno, penjaga menara suar |
Setiap kali pengunjung melangkah menaiki tiap lantainya, maka akan terdengar gemuruh riuh. Itu jugalah salah satu alasan Pak Yetno berat hati merelakan bangunan bersejarah itu dimasuki. Apalagi pernah ada yang tidak bertanggung jawab, buang air di sembarang sudut. Sehingga, sewaktu-waktu sajalah pintu menara dibuka dengan jumlah pendatang menjadi patokannya.
Perkataan lelaki paruh baya itu meninggalkan catatan penting bagiku. Sejarah bukanlah kenangan tak berbekas, ialah jejak bagaimana kokohnya bangunan tegak setelah digempur badai kehidupan dan sebagai saksi arus perubahan tiap dimensi. Sejarah bagai akar adanya peradaban, yang harus dirawat dan disiram supaya tunasnya tetap berkembang. Jadi, wisata tidak melulu menikmati panorama dan fasilitas yang ada, melainkan menunjukkan kepedulian terhadap keadaan sebenarnya.