Menghealing di Saung Ende

Bayangan telah di hadapan ketika kami meninggalkan gedung sekolah, melaju ke arah Barat membatalkan tujuan dari Pantai Pandan. Oleh karena perjalanan dadakan, maka sepanjang jalan topik bahasan tak lepas dari tempat wisata yang pernah dikunjungi oleh beberapa antara kami berenam. Sebut saja Pantai Sangiang, Lereng Cibolang, Taman Mahoni Bangun Sentosa (MBS), Pantai Florida, dan lainnya. Meski agak random, tapi setiap tempat memiliki daya tariknya tersendiri. 

Lalu pembicaraan pun menyinggung tempat tujuan yaitu Cafe Kebon Cau. "Sebaiknya kita pesan minum saja di sana, kalau untuk makanan beli dari luar saja," usul Dedi sebagai pengemudi. Aku yang belum pernah tahu merasa heran, "Memangnya kenapa?"

"Harganya lumayan menguras kantong, apalagi di akhir bulan," Rida yang berada di sebelahku menanggapi. Kami pun berencana antara membawa makanan dari luar atau makan sebelum sampai tempat tujuan.

Masing-masing dari kami ikut mengusulkan santap makan sore yang diminati. Mega mengusulkan makan ramen, lalu yang lain ingin bakso, bebek selamet, ayam bakar, dan sebagainya. Di tengah kebingungan dengan banyak pilihan, Dedi yang sudah sangat familiar dengan berbagai lokasi wisata di Serang memberi alternatif untuk makan di Saung Ende. Berbagai menu pilihan layaknya rumah makan sederhana, serta pemandangan alam pedesaan nan asri, tersaji di sana. Kami pun sepakat dan menuju persinggahan.

Setelah sekira 1,5 jam perjalanan berkendara ke arah Taktakan, melalui jalan berkelok turun naik serupa ke Puncak, tibalah kami di sebuah kawasan asri dengan aliran sungai yang tidak jernih lagi, berisi bebatuan besar tertanam antara gemericik aliran air. 

(Tempat pembelian tiket)

Sebelum masuk parkiran, kendaraan melewati sebuah spanduk hijau bertuliskan "Selamat Datang di Saung Ende, Wisata Alam & Kuliner". Setelah parkir kendaraan roda empat, di depan pintu masuk kami harus membayar biaya Rp 5.000/orang dan parkir Rp 5.000 untuk mobil. Selanjutnya melangkah mengikuti jalan setapak yang disemen, memudahkan pengunjung terarah menuju saung-saung di dalamnya. Terlihat pepohonan di sekelilingnya, membuat sejuk dan penat hilang seketika. Lalu, menuruni anak tangga hingga melewati jembatan dengan sungai di bawahnya, terus mengikuti jalur lorong dari rangka besi dengan hiasan ranting dan lampu di atasnya. Akan nampak beberapa spot foto yang instagramable menyambut pengunjung, menggugah jiwa untuk berswafoto ala eksis. Hehehe...


Dekat tempat kami berfoto, terdapat bangunan "Pusat Pemesanan dan Kuliner". Di kanannya ada anak tangga yang terhubung dengan deretan saung-saung di bagian bawah, beralas tikar dan meja kecil melengkapi. Kerangka besi pun mengamankan batas duduk kami. 

Setelah menempati salah satu saung dekat akuarium ikan, barulah kami memilih makanan sesuai selera. Selain menunya sudah familiar, harga pun terjangkau dan cocok dengan keuangan saat akhir bulan. Sambil menunggu pesanan tersaji sesuai pilihan, kami bergilir untuk menunaikan kewajiban rukun Islam yang kedua, shalat.

(mushola)

Tidak berselang usai kami shalat, pesanan berdatangan dengan aneka ragam menu. Terdiri dari Nasi Goreng, Ayam Bakar, Pepes Tahu, Pepes Peda, Sayur Asem, Pecak Bandeng, dan Puyuh Bakar. Sementara minumnya, sengaja pesan Es Teh Manis. Namun karena meja terlalu kecil, jadilah kami mengambil meja kosong lain sebagai tambahan. 

(memilih menu)

(aneka hidangan yang dipesan)

Di tengah menikmati makanan, anak-anak yang berenang di bawah saung tetiba berteriak, "Minta sawerannya, Teh," sembari menatap ke atas. "Tangannya kotor dek, lagi sibuk makan," celetuk Mega memandang kami. Kami pun hanya seyum-senyum lucu. Bagaimana caranya kami memberikan saweran, sementara anak-anak tersebut sedang mandi di sungai yang jaraknya sekira 5 meter di bawah saung.

(anak-anak yang berenang di sungai)

Oleh karena anak-anak tersebut terus merengek tiada henti, seorang bapak yang berada di saung lainnya menanggapi, "Itu uangnya keliatan nggak," ujar sang Bapak sembari melempar selembar uang. Entah ada atau tidak, hanya lambaian yang kutangkap dari beberapa anak.

Matahari sudah diselubungi awan hitam, sehingga kami harus bergegas meninggalkan kawasan wisata dan tak sempat berkeliling lebih luas lagi. Namun, perjalanan yang dadakan ini tentunya akan menjadi kenangan tersendiri, entah kapan lagi berkesempatan membersamai waktu di alam terbuka. Meski cita rasa masakannya berselera manis, sebagaimana perjalanan kami sebagai pengobat kegelisahan rasa yang tertunda. 

Tujuan semula ke Cafe Kebon Cau terpaksa batal dan mencukupkan perjalanan sampai perut terisi. Perjalanan ini anggaplah sebagai permulaan saja, sebelum menikmati libur Imlek esok hari. 

(Dari kiri : Mega, Riska, Saya, Rida, Ina, yang suka ngalor-ngidul obrolan)

(P' Dedi, pemilik mobil yang siap memberi tebengan jalan² 😁)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama