Gb. dari sini |
Namun mudik di moment lebaran amatlah berbeda dari hari biasa. Banyak perantau lain menginginkan hal serupa, pulang untuk berkumpul dengan keluarga tercinta. Jadilah terminal, stasiun, dan bandara dipenuhi ratusan bahkan ribuan orang pemudik. Di situlah kesabaran teruji kala puasa sedang dijalankan. Mulai dari berburu tiket, berjibaku dengan kepadatan antrean penumpang hingga kemacetan yang menggelisahkan waktu. Cukup menguras tenaga.
Aku pun pernah merasakan kegelisahan itu, Ketika waktu mudik semakin dekat dengan lebaran, H-3. Saat kantor mulai meliburkan para karyawan, saat jam bergerak lebih cepat dari hari kemarin, saat itulah detak jantung terdengar lebih keras dan berpacu secepat bedug yang ditabuh. Kekhawatiran dipicu oleh sebab keluarga yang sudah resah menanti, sementara semua teman kost pun bersiap kembali ke kampung halaman. Meski jarak yang kutempuh tak mencapai ribuan kilometer jauhnya, tapi rasa ingin segera sampai rumah mengetuk sisa-sisa daya.
Terminal Kampung Rambutan menjadi tujuan perjalananku, meski padat dan rawan segala tindak kriminal, tapi bisa dipastikan tempat duduk kosong tersedia selalu. Kadang sedikit terganggu oleh kehadiran calo yang menghadang jalan, menawarkan bermacam jasa. Entah jasa membawakan barang, mengantar sampai menemukan bus, hingga menyediakan tiket perjalanan. Aku yang sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu hanya bisa angkat tangan, tanda menolak secara halus. Berjalan dengan langkah cepat dan pasti membuatku terhindar dari gangguan semacam itu. Akhirnya, para calo pun mundur tanpa ada kesempatan.
Bus Jakarta - Merak yang akan mengantarku hingga tujuan, mulai bergerak meninggalkan persinggahan. "Lagi di jalan mau pulang," pesan singkat kulayangkan menjawab pertanyaan orang tua, "Kapan pulang?"
Aroma perpisahan dengan ibu kota terasa begitu kental, melihat antusias para pemudik yang rela berdesak-desak di tempat pemberhentian bus dan bersedia berdiri dengan tarif sama. "Sudah resiko," barangkali itu dalam benak mereka. Kemacetan tak juga bisa dihindari sehingga lama perjalanan lebih dari biasanya. Akan tetapi, pemandangan di luar bus menjadi hiburan tersendiri, deretan gedung pencakar langit, kendaraan bertebaran di setiap sisi, dan barisan pohon sebagai pagar.
Napas lega berhembus lama menikmati udara kampung halaman, jauh dari asap dan polusi. Sapaan para tetangga yang bertemu muka serta sambutan hangat dari ibu, menyadarkanku yang telah pulang. Dan kini, aku telah kembali berkumpul dengan keluarga. Mudik pun berupa kerinduan dalam moment melakukan perjalanan.
Bus Jakarta - Merak yang akan mengantarku hingga tujuan, mulai bergerak meninggalkan persinggahan. "Lagi di jalan mau pulang," pesan singkat kulayangkan menjawab pertanyaan orang tua, "Kapan pulang?"
Aroma perpisahan dengan ibu kota terasa begitu kental, melihat antusias para pemudik yang rela berdesak-desak di tempat pemberhentian bus dan bersedia berdiri dengan tarif sama. "Sudah resiko," barangkali itu dalam benak mereka. Kemacetan tak juga bisa dihindari sehingga lama perjalanan lebih dari biasanya. Akan tetapi, pemandangan di luar bus menjadi hiburan tersendiri, deretan gedung pencakar langit, kendaraan bertebaran di setiap sisi, dan barisan pohon sebagai pagar.
Napas lega berhembus lama menikmati udara kampung halaman, jauh dari asap dan polusi. Sapaan para tetangga yang bertemu muka serta sambutan hangat dari ibu, menyadarkanku yang telah pulang. Dan kini, aku telah kembali berkumpul dengan keluarga. Mudik pun berupa kerinduan dalam moment melakukan perjalanan.
#Day_18
#30HariKebaikanBPN
#30HariKebaikanBPN