Pernah nggak kamu mengalami hal konyol yang memalukan ? Rasanya tuh pengen nyelem ke laut mati atau tertimbun rerimbunan kapas, badan serasa menciut bagai parasut dan muka berubah matang seperti tomat busuk.
Sebenarnya banyak kejadian di luar dugaan, membikin malu diri sendiri tapi ampuh membuat tertawa orang lain. Memang bukan hal disengaja, tapi sebagai orang yang sama sekali 'tidak lucu' dan bukan pelawak kadang aku hanya bisa nyengir kucing. tanpa tahu harus berbuat apa dan menunjukkan wajah yang bagaimana. Bingung. Entah harus menyalahkan otak yang tidak connect atau keberadaanku yang salah tempat
Dan kejadian yang memalukan itu pernah aku alami gara-gara gagal fokus pada saat peristiwa penting yang bersejarah. Tepatnya hari senin, di mana biasa dilaksanakan upacara bendera. Waktu itu aku masih SMP kelas VII dan nggak nyangka dapat bagian untuk membawa naskah pancasila, yang membuatku terpaksa (mau nggak mau) WAJIB tampil di muka umum untuk kali pertama (selama ini selalu baris paling belakang).
Semua sudah berada di posisinya masing-masing. Ketua kelas sebagai pemimpin upacara mengomandokan agar setiap barisan rapi dan teratur. Lalu pembina pun memasuki lapangan upacara. Setelah melalui beberapa tahapan (aku sudah lupa rangkaiannya), disebutkanlah "pembacaan teks UUD 1945". Dengan sedikit menenangkan diri dan ke'pede'an yang dipaksakan, majulah aku menghadap sang pembina yang merupakan wakil kepala sekolah.
Kujulurkan map yang berada di tangan ke hadapan beliau, tiba-tiba wakil kepsek itu bilang "nanti, nan...ti".
Aku bingung sesaat, dengan mulut sedikit terbuka. Aku tersadar kalau yang kubawa adalah naskah pancasila, bukan UUD '45. Aku pun mundur lagi sambil menutupi rasa malu. Perasaanku kacau waktu itu (andai punya kekuatan menghilang, pasti kupilih kamar untuk membenamkan diri), tapi kutahan sambil menyiapkan diri untuk tampil lagi, kudengarkan lebih seksama setiap susunan upacara yang dibacakan.
Setelah pembacaan UUD '45 selesai, tibalah giliranku maju (lagi) memberikan map berisi teks pancasila kepada pembina upacara. Kali ini pedeku terganti cuek. Tidak bisa dibayangkan betapa groginya pada waktu itu, terlebih melihat ekspresi wajah kepsek dengan mata melotot dan kumisnya yang tebal, sempat membuatku membisu.
Kudengarkan dengan teliti setiap pembacaan pancasila, lalu kuikuti agar tidak kehilangan 'jejak lagi' apabila semua teks sudah selesai dibacakan.
Dan waktu pembina upacara menyampaikan amanatnya. Jujur aku sempat khawatir dan berasa tanganku dingin, keringat mengalir dari dahi. Takut kalau kesalahanku selama upacara disinggung, maka malu akan berulang dan mengganda. Padahal saat ini pun masih mengumpulkan kekuatan untuk meyakinkan diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja, semua orang pasti bisa melakukan kesalahan, dan setelah upacara berakhir, tidak akan ada apa-apa. Kucoba menarik nafas dalam-dalam dan mengeuarkannya perlahan, kuakukan berulang (kurang lebih 3x). Setelah akhirnya pasrah akan apa pun yang disampaikan oleh wakil kepsek.
Wakil kepsek menyampaikan amanat yang ternyata tidak menyinggungku (aku lupa tentang apa), tapi aku sangat bersyukur dan merasa lega (mantraku berhasil... ;) ). Akhirnya upacara pertamaku berakhir dengan damai, meskipun itu jadi pengalaman pertama dan terakhirku sebagai petugas upacara (bukan kapok atau trauma, tapi demam panggung....hehehe).
Sebenarnya banyak kejadian di luar dugaan, membikin malu diri sendiri tapi ampuh membuat tertawa orang lain. Memang bukan hal disengaja, tapi sebagai orang yang sama sekali 'tidak lucu' dan bukan pelawak kadang aku hanya bisa nyengir kucing. tanpa tahu harus berbuat apa dan menunjukkan wajah yang bagaimana. Bingung. Entah harus menyalahkan otak yang tidak connect atau keberadaanku yang salah tempat
Dan kejadian yang memalukan itu pernah aku alami gara-gara gagal fokus pada saat peristiwa penting yang bersejarah. Tepatnya hari senin, di mana biasa dilaksanakan upacara bendera. Waktu itu aku masih SMP kelas VII dan nggak nyangka dapat bagian untuk membawa naskah pancasila, yang membuatku terpaksa (mau nggak mau) WAJIB tampil di muka umum untuk kali pertama (selama ini selalu baris paling belakang).
Semua sudah berada di posisinya masing-masing. Ketua kelas sebagai pemimpin upacara mengomandokan agar setiap barisan rapi dan teratur. Lalu pembina pun memasuki lapangan upacara. Setelah melalui beberapa tahapan (aku sudah lupa rangkaiannya), disebutkanlah "pembacaan teks UUD 1945". Dengan sedikit menenangkan diri dan ke'pede'an yang dipaksakan, majulah aku menghadap sang pembina yang merupakan wakil kepala sekolah.
Kujulurkan map yang berada di tangan ke hadapan beliau, tiba-tiba wakil kepsek itu bilang "nanti, nan...ti".
Aku bingung sesaat, dengan mulut sedikit terbuka. Aku tersadar kalau yang kubawa adalah naskah pancasila, bukan UUD '45. Aku pun mundur lagi sambil menutupi rasa malu. Perasaanku kacau waktu itu (andai punya kekuatan menghilang, pasti kupilih kamar untuk membenamkan diri), tapi kutahan sambil menyiapkan diri untuk tampil lagi, kudengarkan lebih seksama setiap susunan upacara yang dibacakan.
Setelah pembacaan UUD '45 selesai, tibalah giliranku maju (lagi) memberikan map berisi teks pancasila kepada pembina upacara. Kali ini pedeku terganti cuek. Tidak bisa dibayangkan betapa groginya pada waktu itu, terlebih melihat ekspresi wajah kepsek dengan mata melotot dan kumisnya yang tebal, sempat membuatku membisu.
Kudengarkan dengan teliti setiap pembacaan pancasila, lalu kuikuti agar tidak kehilangan 'jejak lagi' apabila semua teks sudah selesai dibacakan.
Dan waktu pembina upacara menyampaikan amanatnya. Jujur aku sempat khawatir dan berasa tanganku dingin, keringat mengalir dari dahi. Takut kalau kesalahanku selama upacara disinggung, maka malu akan berulang dan mengganda. Padahal saat ini pun masih mengumpulkan kekuatan untuk meyakinkan diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja, semua orang pasti bisa melakukan kesalahan, dan setelah upacara berakhir, tidak akan ada apa-apa. Kucoba menarik nafas dalam-dalam dan mengeuarkannya perlahan, kuakukan berulang (kurang lebih 3x). Setelah akhirnya pasrah akan apa pun yang disampaikan oleh wakil kepsek.
Wakil kepsek menyampaikan amanat yang ternyata tidak menyinggungku (aku lupa tentang apa), tapi aku sangat bersyukur dan merasa lega (mantraku berhasil... ;) ). Akhirnya upacara pertamaku berakhir dengan damai, meskipun itu jadi pengalaman pertama dan terakhirku sebagai petugas upacara (bukan kapok atau trauma, tapi demam panggung....hehehe).