Mawar 'Tak Berdaun



Panas terik matahari mulai membuat peluhku bercucuran, sengatannya serasa menembus hingga tulang iga. Sesekali aku berdiri dari tempat duduk, melihat kanan kiri, sembari mengibaskan jari tangan ke wajah dan mengusap keringat di kening. Sudah lebih setengah jam aku menunggu sendirian di tempat ini, mengabaikan beberapa mobil yang melintas dan menawari tumpangan, namun aku tidak bergeming menolak tawaran mereka.

Tidak lama kemudian ponselku berbunyi, "Nira, maaf aku telat. Tapi lima meniiit lagi aku pasti sampe...," cerocos suara itu.
"Kamu..." Perkataanku terpotong dengan bunyi klik dari sebrang telepon. Aku menghembuskan napas dengan keras, menahan kekesalan.
Ini kali pertama ia ingin bertemu secara khusus denganku. Tetapi tidak menyangka membiarkanku menunggu seperti ini, dengan menahan lapar.
Kulirik jam yang melingkar di tangan kiri, dalam hati berkata, "Baiklah, kalau dalam lima menit tidak datang, akan kupastikan hari ini kita tidak akan bertemu."

Selang beberapa menit kemudian.
Aku sudah siap meninggalkan halte, tiba-tiba terdengar ada yang memanggil.
"Nira...," panggil suara dari arah kiriku, dengan senyum sumringah berjalan ke arahku.
"Ini sudah lima menit setengah tau?," sahutku ketus, lalu memalingkan muka.
"Jangan marah, ini buat kamu," ucapnya sambil menyodorkan sekuntum bunga.
"Kamu lagi ngerayu aku? Dengan mawar ini?," tanyaku tak percaya dengan apa yang dia berikan.
"Hehehe... Ini hanya permulaan. Kelak kalau sudah kerja pasti akan kubelikan yang lebih bagus dan mahal."
"Bukan itu maksudku..." Belum sempat aku selesaikan kalimat selanjutnya, ada teriakan dari arah kiri kami. "Heiii, kamu anak nakal. Kesini kamu..." panggil seorang laki-laki paruh baya, dengan tubuh tinggi dan besar. Tangannya diacungkan ke arah kami, seolah-olah sedang memberi peringatan.

Tanpa aba-aba, Danar yang sedang bersamaku langsung menarik tanganku dan mengajak berlari.
"Ayo lari."
"Kenapa? Apa kamu berbuat salah?"
"Mawar itu... Aku mengambilnya dari kebun bapak itu." 
"Ha..h? Kamu mencuri?"
"Bukan, dia kakekku yang sangat mencintai mawar-mawarnya."

Aku memandangi sekali lagi mawar di tanganku. Kuamati dengan seksama, mawar itu ternyata diambil dari pucuknya, tanpa tangkai pun daunnya. Kami berlari semakin jauh dari kakek itu. Tapi kemudian, "Bugh, aduh.. arght... wuft...," rintihku menahan sakit akibat terjatuh dari tempat tidur.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama