Rahasia Rasa



Sudah berabad waktu dan bertahun lamanya berlalu, sejak perpisahan terakhir kita menyisakan pengharapan hingga kini. Banyak pertanyaan dan pernyataan yang ingin kudengar tentang kesetiaan, ketulusan, perhatian dan perasaan. Pernahkah kau miliki semua itu untukku, hanya aku ?

Aku tidak pernah mengerti arti cinta sebenarnya, sampai suatu saat kau berpendapat bahwa "cinta itu hanya dapat dirasakan namun sulit untuk diungkapkan, ia abstrak hingga panjang dan rumit penjelasannya."

Tapi bagi wanita, cinta itu harus dinyatakan secara jelas dan pasti, agar tidak ada salah paham antara perasaan yang satu dengan lainnya, apakah memiliki kesamaan. Namun kau tidak pernah menganggapnya terlalu penting dan tidak mengatakan apapun lagi, terlebih mengenai perasaan.

Sebagai teman satu kelas kita bertemu setiap hari, mengobrol, tertawa, bermain tebak-tebakan, berbagi contekan dan saling menggoda. Semua kita lakukan bersama hampir di setiap waktu, mungkin karena tempat dudukmu berada tepat di belakangku.

Di tengah jam pelajaran kau selalu memanggil-manggil namaku dengan manja "Ratna, Ratna...", tanpa henti sampai aku menoleh, tapi kau terdiam saat kutanya "ada apa?". Hanya senyuman yang kau lemparkan dan akupun tak kuasa membalasnya. Kau melakukan itu berulang kali selama jam pelajaran, bahkan di hari-hari berikutnya.

Banyak keisengan yang kau lakukan dan membuatku kesal. Pernah kau kagetkan aku dari belakang, sampai membuatku melonjak kaget sambil beristigfar, tapi kau tertawa dan berlari girang seolah berkata "hore, hore, yess..".

Di lain waktu, kau sembunyikan tasku di atas jendela, mencegat jalanku yang ingin masuk ke dalam kelas, menyelipkan bungkus permen di ujung jilbab, mengambil buku catatan yang sedang kusalin, melemparku dengan gumpalan kertas yang sedang kau mainkan sebagai bola dan keisengan lainnya (atau bisa dikatakan kejahilan). Hanya satu yang tidak pernah kau lakukan, yaitu mencoret-coret bukuku dengan gambar bola favoritmu, seperti yang biasa kau lakukan kepada teman-teman lain.

Awalnya aku hanya menanggapi biasa saja. Karena pikirku, kau hanya bermain-main saja dan tidak mungkin memiliki perasaan khusus terhadapku. Begitu banyak wanita yang menyukaimu, kau seperti pangeran dari negeri dongeng, yang hanya ada dalam mimpiku.

Sampai suatu saat kau menekuk lutut dan berjongkok di hadapku dengan mengatakan, "Ratna, kenapa kau sulit sekali?", dengan wajah memelas.
Aku hanya bisa bengong kaget "hah...?". Tidak tahu harus bilang apa.
Kau bangkit dan mengeluarkan sesuatu dari saku bajumu. "Ini, untukmu", ujarmu meletakkan sebuah benda di atas mejaku. Aku melihat benda itu, ternyata kacang kulit.
Setelah itu kau berlalu pergi dan sesampainya di ujung pintu berujar "mau shalat bareng?".
Bertepatan itu pula teman sebangkuku masuk dan aku hanya menjawab "nanti aku nyusul sama Atul. Oya, terima kasih kacangnya".
Kau hanya tersenyum tipis dan berlalu pergi. Aku bingung, tidak menyangka apa yang baru saja terjadi.
Atul yang baru masuk bertanya "ada apa?".
"Oh, ini dari Dhani". jawabku singkat sambil menunjuk kacang tadi.

Saat kau tidak masuk, aku merasa sangat kesepian dan tidak tahu harus melakukan apa. Aku pun mulai menyadari, kesepian ini karena merindukanmu. Walaupun selama ini kau hanya mengganggu, tapi itu yang membuat hari-hariku terasa berwarna dan berbeda.

Sempat kau berkata, "Ratna, terimalah cintaku...", Ungkapmu satu waktu sembari menyodorkan secarik kertas.
Aku mengambil kertas itu dan membolak-balik isinya, "ko', kosong... mana isinya ?" tanyaku polos tanpa menghiraukan pernyataanmu.
Kau justru melengos, menunduk dan jalan pergi. Membuatku merasa serba salah dan menyesal, telah membuatmu kecewa dengan pertanyaanku yang tidak penting.

Aku tak tahu harus bagaimana menghadapimu, tapi sejak berbagai tanggapanku tak sesuai harapmu, kau berubah sikap. Tidak lagi berbuat iseng dan menggodaku, perhatianmu tidak lagi padaku, itu membuatku tenang sekaligus sedih, merasa kehilangan dirimu. Apakah karena akan menghadapi Ujian Akhir ?
"Ya, sebantar lagi ujian sekolah. Tentu saja harus fokus belajar", pikirku.

Setelah ujian berakhir dan perpisahan pun di depan mata. Namun perhatianmu masih tidak kembali dan akhirnya kita sibuk masing-masing. Aku memulai kehidupan baru di Jakarta, kali pertama pisah dengan keluarga tercinta.

(Kali ini aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku terhadapmu). Perasaan yang aku kira akan sangat mudah lenyap, bagai debu yang tertiup angin, atau seiring dengan silih bergantinya orang yang datang dan pergi. Namun waktu semakin meyakinkanku, bahwa aku telah benar-benar menyukaimu hingga menjadikanmu sebagai cinta pertamaku. Kegelisahan membuat perasaanku tidak tenang hingga kuputuskan untuk menghubungimu.

Satu kali aku beranikan untuk menghubungimu, tapi kakakmu bilang kau baru saja mengalami kecelakaan dan sedang menjalani perawatan. Betapa kaget dan sedihnya aku saat itu hingga berkeinginan untuk menjengukmu. Tapi, tentu saja tidak mungkin, aku tidak seberani itu untuk datang ke rumahmu sekaligus mengorbankan kuliahku. Walau kadang perasaanku selalu mendesak untuk pergi menuju tempatmu berada, tapi logikaku juga menentangnya dengan berbagai alasan. Hanya doa dan permohonan yang bisa aku panjatkan kepada Tuhan untuk kesembuhan dan kesehatanmu.

Bulan berganti tahun, hingga berganti pula statusku bukan lagi mahasiswa. Dengan berselangnya waktu, banyak cinta datang kembali dan pergi juga. Tapi baru setelah itu aku mulai melepaskanmu, cinta pertamaku yang tidak pernah kembali. Mungkin benar kata orang, cinta pertama itu tidak akan dimiliki hingga akhir. Dan aku merasa bisa melepasmu dengan keyakinan bahwa bila jodoh pasti akan bersatu, dan bukankah cinta tidak selalu harus memiiki? Jika memang cerita kita harus berakhir sebelum dimulai, biarlah 'kan kuikhlaskan semua yang terjadi.

Akhirnya aku harus merelakan masa lalu untuk memulai masa depan yang lebih baik lagi. Kau telah menjadi bagian dari hidupku, telah mengajari banyak hal padaku, mengenalkanku akan cinta, rindu, benci, keberanian, kesetiaan, keceriaan, kedewasan dan kemandirian. Itu hal pertama yang aku rasakan melalui dirimu dan kini aku sudah bisa menatap ke depan untuk menggapai mimpi-mimpi baruku.

Walau aku tidak tahu pasti akan perasaanmu, tapi biar bagaimanapun aku berterima kasih atas semua perasaan yang telah kau berikan, segala kenangan yang telah terabadikan dalam memoriku dan kekuatan yang tersisa untuk menjadikan hidupku lebih berharga. Tanpa sengaja kau telah menginspirasiku untuk selalu berbuat yang terbaik dan lebih baik.

Aku telah menjadikan cerita ini sebagai rahasia yang tak 'kan terungkap, bahkan olehmu sendiri tidak pernah tahu akan ini. Dan, aku tidak akan menyimpanmu lagi di dasar hatiku, karena itu membuatku sulit bernapas, bergerak bebas dan duniaku menjadi sempit.

Sudah waktuku untuk bertanggung jawab pada diri sendiri, menerima kenyataan dan menghirup aroma kebebasan yang sebenarnya. Aku ingin jujur kepada semuanya, jujur pada diri sendiri, pada orang yang telah menyayangiku, terutama jujur pada perasaan sendiri. Aku yakin, Tuhan telah menyiapkanku seorang laki-laki sholeh yang akan mengajakku menggapai surga-Nya kelak. Kini, aku harus berbenah diri, memperbaiki segala salah dan khilaf, lebih mendekatkan diri pada Tuhan dan bersyukur atas segala yang kumiliki.

Untuk rasa yang masih terpenjara, semoga ia akan segera menemukan pintunya menuju kebebasan
karena hati dan raga mempunyai satu tujuan walau dengan kehidupan berbeda
namun keduanya harus saling mendukung satu dengan yang lain
sehingga mereka tidak tersesat dan menjauh dari keadaan nyata

Hidup ini sebuah proses
melalui beragam rasa suka dan duka
sebagai wujud pendewasaan
dan bersama waktulah semua akan menemukan caranya.



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama