Ada kalanya kita membutuhkan ketenangan, kesunyian dan menjauh dari hiruk pikuk kota, tanpa ada seorang menemani, hanya menikmati kesendirian.
Begitupun denganku, yang kadang sepulang kerja singgah ke sevel. Kalau siang hari mampir untuk remote kerjaan, tapi saat merasa rindu akan suasana malam, aku jadikan tempat tongkrongan pribadi. Biasanya dari teras lantai dua, aku bisa melihat wajah langit ibu kota, yang sebagian tertutup oleh gedung-gedung pencakar langit. Memang berbeda dengan wajah langit di kampung halamanku, sebelah selatan Jakarta. Tidak ada kerlip bintang menghiasi, bahkan bentuk bulan pun tidak aku temui.
Memang semua kursi dipadati pengunjung, tapi aku tak terusik oleh keberadaan mereka. Banyak dari mereka sibuk memencet tombol monitor di depannya, jadi suasananya masih dibilang tenang. Sebenarnya bukan hiasan langit yang kucari, cuma dengan menatap langit membuat jiwaku merasa damai. Seolah pikiran dan perasaanku sedang dihipnotisnya, menenggelamkan diri dalam keheningan malam. *tanpa peduli hingar-bingar jalanan dan suasana sekitar*
Di langit malam, aku melihat diriku dari sisi yang berbeda, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang ada. Semakin lama, angin malam membawaku ke dunia berbeda. Diantara gelap, ada suara ghaib mengajak bercerita, tentang aku, kamu dan dia.
Lalu, diperlihatkannya lapisan-lapisan langit hingga langit ke tujuh. Banyak kisah di setiap lapisnya. Ah, langit malam selalu membuatku iri. Dia selalu bisa berdamai dengan siapa saja, bahkan dengan dirinya sendiri, ia tetap bersahaja. Langit malam tidak pernah mengeluh ketika dipersalahkan datangnya gelap, dia pun tidak pernah sombong ketika dibanggakan sebagai waktu beristirahat.
"Diikutsertakan dalam #TantanganMenulis | Tema : Boketto."