Kesempatan di Waktu Mendatang

Pancoran
Ibu kota terasa memudar warnanya sekarang, mungkin magnetnya mulai terkikis atau cuma perasaanku sedang mengalami bosan. Itu yang kurasakan kini, berbeda dulu tetapi tak bisa kuramalkan untuk nanti. 
 
Selalu ada pemandangan sama setiap kali kukunjungi kau di sana. Padatnya jalan raya membuatku kesulitan menyebrang, ketika hendak masuk gang tempatmu tinggal serta selokan yang mirip kali selebar dua meter, selalu meluap di kala hujan lebat. Membuatku terbiasa, tak persoalkan. Selama kita masih bisa bersua, kembali berbagi rasa dan cerita dalam segenggam semangat, apresiasi pesan-pesan terkirim sebelumnya. Bagiku, semua lebih indah dan nyata dibanding kilauan cahaya dari gedung bertingkat depan kostmu di lantai dua.

Terakhir kedatanganku menyimpan duka, ada kurang dan sesuatu mengganjil diantara kata-kata tersampaikan. Entah apa, mungkin kau juga merasa hal tak biasa semacam itu. Kita terlatih lebih banyak diam untuk memahami, tapi mungkin kau tidak tahu kalau aku mempunyai banyak kekuatan dalam bertahan. Anggaplah kesunyian kita sebagai penyeimbang jiwa yang kalut. Senormalnya itu agak membosankan, monoton dan tidak asyik, tapi anehnya kita bisa menikmatinya sambil makan soto ceker.

Seandainya kau mau, bisa saja aku bercerita yang bisa ditebak barangkali tidak membuatmu tertarik, tentang komunitas yang kuikuti atau drama korea yang kudownload, melalui wifi kantor bersama teman-teman di sana. Semua itu jarang kulakukan kecuali kau tanyakan, sebab kebersamaan kita terlalu berharga untuk diisi dengan kisah seorang saja. Banyak hal lain bisa diurai bersama gurau, melihat betapa lucunya kehidupan.

Suatu kali kau mengirimiku kabar tidak bahagia, di mana kondisimu dalam keadaan tidak sehat. Memang bukan yang pertama, jarak sakitmu berdekatan hinggaku tak selalu bisa menemani. 

"Coba kau ada di sini, Ratna," bujukmu tiap kusemangati.
"Iya, aku juga mau. Tapi nggak bisa." 

Jawabku selalu mengecewakan harapmu sekaligus membuat sedih bersama. Hanya kunjungan sesekali saja bisa kulakukan, itu pun sebentar dan meninggalkan tanya dalam batin "Kapan bisa ke sini lagi?"

Do'a-do'a terus kulayangkan di kala sunyi maupun terang, sembari mengingat bayang wajahmu yang mungkin tampak layu. Sayangnya, tidak banyak cara ditemukan sebab bukan ruhku yang kaubutuhkan, untuk bisa kau pegang dan pandangi. Kalau bisa akan kujadikan raga menjadi dua, agar kau tak sendiri dan lainnya tanpa menonjolkan durhaka.

Jejak perjalanan kita sedikit memudar, tiada lagi rencana buat esok yang bisa dilakukan bersama, semangat telah berganti ke pasrah. Berbeda di masa masih dalam satu atap, berbagi tiap kotak lantainya sehingga dapat kita isi bersama, saling bertukar barang meminjami, menyepakati pergi mengisi hari menjenuhkan untuk pulang berganti lelah.

Keadaan telah menampakkan perubahan tak terduga. Semulaku terpaksa meninggalkan kota tempat kita berjumpa dan lalu kini kau pun melakukan hal serupa. Usai kau habiskan seluruh daya dan tenaga, tertinggal pada kehendak-Nya saja. Masing-masing kita akhirnya kembali menempati kampung halaman, jauh dari kota Jakarta.

Sahabat, banyak kejutan tak terduga kita temukan dalam perjalanan hidup ini. Dari mula perkenalan untuk sampai pada kedekatan dalam menjalin suatu hubungan bernama, memakan berbagai uji emosi terlampiaskan dan terkalahkan. Hingga haruslah perpisahan dirasai juga, setelah segala beda mampu tertepiskan dahulu. Maka, janganlah kau selalu keras pada dirimu. Barangkali kejutan lain akan datang dengan warna berbeda, sesuai yang kau nanti selama ini.

Semogalah ruang dan waktu tidak menghapus keakraban yang terlanjur terpatri antara kita, karena kesepakatan telah berbekas dan menjadi saksi untuk kita menjadi satu ikatan. Bila kesempatan berbaik hati padaku, tiada ragu lagi langkah kaki mendekati jarakmu. Kita pun dapat saling memotivasi dan meninggikan mimpi dalam gambaran seorang Bimbim.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama