Bukan Salah Perbedaan

Aku mengingat perbedaan itu indah begitu adanya. Seperti banyaknya orang yang pernah ditemui bahkan dikenal kemudian. Tempatku bekerja dulu bukanlah perusahaan asing, seluruh karyawannya asli Indonesia dengan latar berbeda. Betawi, Jawa, Sunda, Sumatera, hingga Tionghoa melebur tanpa batas komunikasi serta pergaulan. 

Saat bekerja, mereka secara profesional mengerjakan project untuk diselesaikan sesuai permintaan klien, bila perlu lembur pun dijalani. Namun waktu luang selalu dimanfaatkan, sekedar mengusir penat dan lelah yang menggelayut, tidak sungkan kejenakaan masing-masing mereka tunjukkan selayaknya anak kecil usai belajar di kelas.
HoD
Melihatnya, membuatku senyum-senyum sembunyi, antara terhibur dan memaklumi pekerjaan mereka sebagai IT. Kadang di sela gurauan mereka, tawaku meledak seiring dengan kata-kata yang dilontarkan menggunakan bahasa Jawa ternyata ditanggapi berbeda oleh si Betawi. Pernah suatu waktu, mereka mengejutkanku dengan tiba-tiba mengintip di sela pintu kaca ruanganku tanpa kata, tapi ketika mendekati tanggal gajian raut mereka seolah memelas minta dipercepat... :D

Kebanyakan kami menikmati makan siang di luar kantor, berombongan perempuan dan laki-laki secara terpisah. Tidak begitu banyak menu pilihan yang bisa dipilih, tanpa tersedianya kantin mengharuskan kami berjalan ke arah Selatan dengan menu mie yamin, soto ayam, bakso, atau warteg. Ketika ingin menikmati menu spesial, kami pun harus melangkah agak jauh ke arah Barat untuk menikmati nasi Megono khas Jawa.

Berkumpul bersama mereka sembari menikmati menu siang hari, lebih mendekatkan kami secara selera. Hal itu membuat kami sama. Ketika teman di depanku berdoa dengan mengatupkan kedua tangannya, untuk didekatkan ke dadanya sembari menutup mata lalu beberapa menit kemudian menyentuhkan ujung tangan yang kanan ke kening, dada dan bibirnya.

Dalam diam aku terus kepikiran. Diantara kami berdelapan yang sering makan bareng, Nat sajalah non muslim. Dia tidak pernah lupa berdoa sebelum makan, membuatku selalu mengoreksi doa yang tadi telah terucap pelan. Di sisi lain, aku menghargai Nat yang teguh dengan keyakinannya. Bukankah perbedaan itu merupakan ujian, untuk mengukur tingkat keimanan kita?

Meski kini aku tak lagi bekerja di perusahan sama, tidak lagi menemui adanya beda agama, namun perbedaan tetap ada. Pemikiran dan keadaan yang berbeda ternyata jauh membuat batinku merasa teruji, kadang sulitnya mengontrol emosi lebih kurasakan di tengah perubahan yang terjadi. Krisis kepercayaan serta penghargaan kadang melukaiku, mengharuskan diri meredam dan mengendalikan amarah. Nyatanya, semua itu salah paham belaka karena ketidakseimbangan rasa.

Sebenarnya perbedaan bukanlah kesalahan, hanya sebuah bentuk kejadian untuk dihadapi dengan berani tanpa membenar-benarkan sepihak saja dan menyalahkan lainnya. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama