Di satu hari yang membuatku amat sibuk, seorang teman mengajak bertemu, "Hari ini pulang jam berapa? Pengen main, huhuhu," tulisnya galau melalui pesan singkat.
Sedikit ragu aku pun menjawab menurut perhitungan, "Sekitar jam dua belasan."
"Oke, nanti jam satuan ke sana ya," putusnya.
"Iya, ditunggu." senyumku simpul.
Targetku
semula bisa selesai sebelum dzuhur, nyatanya masih terdapat beberapa
kekurangan dalam laporan yang harus dikumpulkan hari itu dan ditambah
lagi tanda tangan pimpinan belum lengkap kudapatkan. Akhirnya, pesanku sampaikan
pada temanku untuk memundurkan waktunya sampai kukabari nanti. Dia pun
tidak keberatan. Berkendara menyelesaikan laporan ke sana ke mari sembari ta'ziyah ke rumah pimpinan. Usai laporan diserahkan ke Kemenag, barulah
perasaanku lega dan bisa mengabari temanku. Sore menjelang, kemudian
diputuskanlah untuk mencari kafe yang dekat dari rumah dan tidak melewati jalan raya.
Akhirnya nggak nyasar hehehe... Ini efek kelamaan tinggal di kota orang 😁 |
Sebenarnya
kami belum terlalu familiar dengan tempat baru di daerah Cilegon,
sehingga harus berselancar dulu sebelum memutuskan tujuan. Lalu
muncullah ide untuk mencoba sebuah kafe di Selatan Kota, sebelum Jalan
Lingkar Selatan (JLS). Selain jaraknya relatif dekat, tempatnya cocok
dijadikan tongkrongan melepas galau 😅
Kami berangkat ba'da maghrib, agar terhindar dari debu truk-truk yang
betah berseliweran di jalan bertekstur cekung pada beberapa sisinya.
Angin berhembus menawarkan perdamaian dan sesekali menyapu pembicaraan
seru di atas kendaraan beroda dua yang kami naiki. Sekira 10 menit menyusuri jalanan sambil celingukan, tempat dimaksud
berhasil ditemukan di kiri jalan. Kafenya bernama Rischoco, buka Senin - Minggu dari jam 11.00 - 22.00 WIB (Kamis libur). Lengkapnya di https://www.instagram.com/rischoco/
Nuansa romantis terlihat dari nyala lampu bergantungan, hijau tanaman terasa
meneduhkan sekaligus menyegarkan hingga rasa letih sewaktu tadi seakan
ikut larut. Meski sederhana, kesan bersih serta rapi terlihat mulai dari halaman parkiran.
Merasa
nyaman, kami pun leluasa melihat sekeliling sambil berswafoto dengan
berpindah tempat. Untungnya saat itu masih sedikit pengunjung,
jadi tidak terlalu terganggu oleh tingkah kami kecuali ketika seorang
waitress menghampiri hendak menyerahkan minuman pesanan, kami pun kembali
ke meja semula. Dengan ramah dan pengertian, mereka bergantian
mengantar minuman serta makanan. Hidangan siap
disantap.
Sebenarnya
banyak pilihan menu tersedia, mulai dari Ricebowl, Bakso, Sop Iga Sapi,
Steak, Pasta, Ayam dengan berbagai olahan, Sate Taichan dan lainnya.
Dengan harga terjangkau mulai dari 15 ribu rupiah hingga 38 ribu rupiah. Tetapi, entah kenapa akhirnya hanya Nasi Goreng dan Ayam Geprek menjadi
pesanan terpilih kami. Mungkin karena tujuan awalnya cuma sekedar
mencari tempat kongkow atau karena kafenya sendiri sudah terlihat asyik,
jadi makanan biasa pun akan istimewa. 😌
Sedangkan untuk minumannya, sengaja kupesan salah satu yang The Most Favourite, Matcha
Motcha, dan Lilis temanku lebih memilih Original Milo. Kedua minuman
tersaji dalam sebuah kantong yang dinamai Ice Bag, unik dan praktis
karena tidak repot cuci gelas segala. Hehehe...
Kesegaran
Matcha menyatu dengan manisnya susu dan tambahan es batu, membuat aroma
daun tehnya tidak begitu melekat. Kalau boleh jujur, aku lebih
menikmati minumannya karena Matcha dipercaya dapat membantu tubuh rileks
dan mengurangi stress. Sepertinya memang sesuai diminum saat suasana
hati sedang tak menentu.
Sambil
rumpiin keadaan diri, melepas galau di pikiran, mata pun ikut berputar
melihat situasi sekeliling. Dari mulanya beberapa kursi terisi kini
telah kosong kembali, hanya tampak hiasan dinding menjadi pendengar kami
serta anak tangga yang entah menuju ruang apa di atas. Sementara malam
semakin hitam pekat, makan dan minum telah lumat di perut, cuma sisa
beberapa sendok nasi goreng bagi penyuka manis pedas.
Kucing pun turut prihatin mendengarkan kegalauan kami 😢 |
Ini asbak apa tempat sampah yang ada di meja? |
Menyadari
sunyi di sekitaran, sebelum lampu dipadamkan dan meja didatangi
pramusaji, kami putuskan untuk angkat kaki lalu tarik gas. Hehehe...
(setelah bayar, tentunya).
Terima
kasih pada kafe yang sudah bersedia menampung anak galau seperti kami,
dengan menu makanan biasa dan harga amat terjangkau tapi dibiarkan
berlama duduk bercurah rasa. Meski akhirnya, suara kami hanya didengar
langit dan di bawa kembali ke hati nurani.