Credit |
Masih ingatkah kamu akan surat terdahulu, yang kupostkan menjelang lebaran di tahun itu? Ada ragu serta berat menekan hatiku menemani perjalanan surat pertama dan terakhir kukirim. Meski jaman barangkali akan menertawakannya, kubulatkan tekad mewujudkan inginmu yang lalu. Anggaplah permintaan maaf atas segala salah paham di antara kita.
Andai saja kamu tahu; buku catatan, handphone, sosmed, lembaran kertas, bahkan guguran daun yang kutemukan, tertuang setiap kata tertuju padamu. Semua sikap dan ucapan tak berarti sebelumnya, kuurai jujur tanpa menutupi rasa sebenarnya. Namun saat bertemu, nyatanya kita tak pandai mengungkap kata manis dan indah didengar. Bagimu, itulah kenyamanan kita.
Butuh waktu untuk menyesuaikan diri denganmu, kekonyolan yang sengaja kamu buat sekedar kuisyaratkan dengan senyuman. Aku hanya bisa menerima polos ketika kamu tidak mengabaikan hadirku di antara yang lain. Entah rasa bahagia atau malu, tapi itulah permulaan kita bisa lebih akrab. Dan tanpa sadar, kamu telah memasuki ruang rahasia yang selama ini aku jaga ketat di dasar hati.
Sayang, kebersamaan kita tak berlangsung lama sebab perpisahan akhirnya terjadi. Ada pilihan dalam setiap perjalanan hidup, itulah yang mungkin tidak menyatukan kita. Tetapi kenangan itu masih saja membekas bagai getah daun yang kering di buku. Akankah kamu menyalahkan apabila tahu keadaan sebenarnya?
Berbagai cara telah kucoba untuk melupakanmu, mulai dari yang biasa sampai cara yang seharusnya tidak pernah kulakukan. Entah cerita apa yang ingin kuselesaikan denganmu hingga dirimu belum keluar dari ruang rahasiaku.
Sesungguhnya kamu tidaklah sempurna. Ada saja sikap dan katamu yang mengecewakanku, hingga konflik membuat jarak beberapa waktu. Dirimu yang kekanakan tapi mandiri serta rasa cemburu yang kamu ekspresikan tak kudapati pada orang lain.
Seandainya dulu aku bisa lebih mengerti kamu dan jujur apa adanya. Seharusnya kita butuh banyak waktu untuk saling mengenal, mestinya kusering memberimu kesempatan memahami. Akankah kita memiliki satu tujuan?
Kini waktu telah memberi jawaban, jika kita bukan takdir satu sama lain. Dan bersama suratku, terimalah hadiah yang sempat kamu inginkan berupa gantungan bergambar bola idolamu. Meski berbeda bentuk, kuharap tetap kamu terima agar tidak ada lagi hutang antara kita. Tidaklah perlu kamu beri jawaban atau balasan suratku. Kata maaf dan terima kasihku tulus atas segala kenangan yang kamu tinggalkan, memberiku inspirasi juga motivasi. Kan kulepas penantian terhadapmu dan berdamai dengan diri yang tersembunyi.
Bila ada pertemuan kita suatu hari, semoga yang tersisa hanya senyum kebahagiaan masing-masing. Doa untukmu selalu kupanjatkan agar dihilangkannya kesedihan dan kondisimu tetap kuat tanpa hilang satu apa pun. Dan kini sudah aku relakan semua tentangmu, jadi ketika kamu menyadari perasaanku sebenarnya janganlah mengkhawatirkannya. Karena kata Tere Liye, "Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin."