Sumber dari sini |
Aku mengadu pada angin, yang berhembus sampai terhempas udara. Saat panas memuai ruang gerak, memudarkan titik hubung muara rasa, menyisakan bias di permukaan. Lemahku menghentikan sayap 'tuk terbang, meringkuk di gua gelap melipat asa. Mengeram dalam jiwa nyanyian sendu tentang ellipsism, mencipta kelukaan tak berdarah.
Aku mengharap berupa ingin, pada waktu sepanjang masa. Hidup telah mengacu untuk bahagia, dengan jalan berbeda-beda. Pilihan telah membawaku kemari, melalui jalan rintang duka dan luka menemani. Rapuhku terlanjur memakan daya, menggerogori suka cita dan alasan sajalah menjadikannya lalai. Tiap hal menjadi mudah ketika menjalaninya penuh ketekunan, namun musuh dalam diri tidak sulit memporak-porandakan sekedipan mata.
Aku menggantungkan hidup pada angan, yang melenakan saat hayal. Kefanaan menghipnotis lapisan rongga tubuh, meracuni setiap sel organ penguatnya. Tertinggal instabilitas diri sebagai fitrah seorang hamba kepada Sang Khalik. Jasadku terperosok dalam jurang penuh noda, semakin jauh dari askara sebab baskara maupun chandra enggan menemani kesilapan tak bertepi.
Ragaku di antara Timur dan Barat, terombang-ambing bersama debu gurun pasir. Daya yang kian surut, menyisakan jaringan bertahan, bertudung selembar kain transparan. Teterpa angin kencang dan tak mampu kutahan dengan tubuh mungil berteman akara. Tinggallah diri berteman sesal tak bersuara, bahkan tanpa daksa yang sudi disinggahi .
Aku bergerak dari jejak dulu, membayangi sampai esok hari. Meriwayatkan garis yang tercetak di telapak tangan, menguruti benang merah kehidupan. Bila jalannya harus menderita, biarlah menjadi penghiburku untuk kuat menghadapi. Ketika indah di kemudian hari, maka hanya kenangan bisa diabadikan. Apabila kesendirian menjadi kawan setia, 'kan kugenggam erat selama arahku tiada salah lagi.
Jika hidup sempurna disyukuri, harusku cukup jalani saja dan biarkan arah mengikuti. Biarlah aksara tetap tersembunyi, membentuk bayu yang bebas berkelana. Cukuplah hari ini menjadi awal segala untuk dimulai, sebab hari kemarin terlanjur berakhir sebagai masa lalu.
Bukankah kita hidup sudah menjadi pilihan? Takdirlah orang menyebutnya. Hingga dewasa dan waktunya tiba, terus diliputi pilihan dalam suatu kondisi. Keputusanlah yang 'kan membawa kita, entah sesal atau puas.
Asaku menggantung di cakrawala, mencari persinggahan untuk mendarat. Jika suatu mendapat saat tepat, menemui adanya keyakinan akan sebuah jawaban. Biarlah keabadian menjadikan kita berproses lebih baik, mengisi diri dengan kebermanfaat hakiki. Waktu sekedar mengingatkan dengan detaknya memberikan kesempatan bahwa tiap detiknya adalah berharga. Bukankah kamu setuju ungkapan Eyang Sapardi, bahwa "Yang fana adalah waktu. Kita abadi."