Maaf Yang Mengobati


Selama ini selalu kamu tunggu satu kata untuk memudarkan kesal tersembunyi, juga untuk memupuskan noktah yang mencemari tenangmu. Kata itu akan mengobati luka di hati akibat pergolakan, yang ditorehkan pola ketidaksesuaian dan berbuah dongkol di dada. Dengannya kamu akan belajar menerima perbedaan, bahwa ada jalur sepi dan sempit selain dari pada jalan aspal yang melancarkan tujuan.

Satu hari nanti kata itu akan terungkap jelas, kala diri merasa terugikan atas tingkah atau ucap, dengan atau tanpa kesengajaan manusiawi. 'Maaf', barangkali satu-satunya kata penyesalan untuk melunasi salah diperbuat. 'Maaf' satu kata peleburan, pembuka jalan hakiki.

Di sisi lain, kamu berharap bisa lancar mengucapkannya, mengakui segala keliru dan menyesali yang terlanjur terjadi. Lalu, akan kamu biarkan kejadian itu berlalu tak berbekas, tanpa jejak dalam keseharian pun perjalinan. Selesai, bagai mimpi semalam. Setelah semua berjalan normal, tiada perubahan menjalankan hidup. Semuanya hanyut di antara lautan aktivitas, bersama detik-detik waktu yang terlewati tiap lembar kisahmu akan baik-baik saja.

Tapi, di sisi sebaliknya kamu menyadari, ada nyata tidak diakui bukti, terlebih pengajuan di bibir selalu mengikuti logika yang terkandung. Permintaan maaf tidak mudah terlafal rasa. Ternyata, telaga jiwamu perlu dibesarkan terlebih dahulu, sebelum bait-bait pengakuan kau hanyutkan ke dalamnya. Membiarkannya tenggelam dan larut di samudera buatanmu, sehingga kamu bisa balik untuk bangkit kembali. Satu hal tidak kau sangkali, permintaan maaf yang terluncur dari bibirmu tidak pernah merugikan, bahkan jika semuanya rekayasa, hanya tersisa keleluasaan di gelombang jiwa. Segalanya bergerak, segalanya bercerita, segalanya berwujud, dengan itulah kamu tumbuh dan mengakali cara memperbaikinya untuk menjadikan hidup tidak melulu hitam atau putih.

Andai setiap jalan hidup memiliki panduan arah seperti jalan raya, andai petunjuk-Nya dapat dipahami tanpa tergugu, andai segala isyarat tergurat jelas, andai kendalimu mampu menyalip sengsara, mungkin... akan lebih mudah menyeberangi lautan dan mendaki gunung. Tujuanmu pun segera tercapai.

Hanya satu tujuan yang menjadi pilihan hidupmu, dengan beragam harapan menyertainya, yang menjadikanmu bertahan di tengah terpaan badai. Namun, kesadaran dibangun agar mengingatkan dan memahami kronologi mendasar dari cela yang kelak berakibat. Selalu ada ketidaksepahaman di balik setiap tindak tanduk tercermin, namun pilihan bukan dari dan untuk orang lain, melainkan akan kembali pada diri sendiri.

Ada saat di mana hidup tidak berjalan sesuai mau. Perjuanganmu ditentang, dihentikan, serta dihancurkan, dan jadilah kau bukan apa-apa. Memang, rasa sedih diabaikan menyisihkan diri tidak berarti, hingga kesendirian menjadi tempat menepi. Tapi, di dalam sepi ada suara yang menyapa, mengasihi dan peduli pada hadirmu di bumi. Suara itu menyentuh dan menggetarkan kalbu, dan cahaya terpancar saat hatimu melihat ke arahnya. Ia menyadarkan, bahwa kamu tidak sendiri. Lubuk hati membisikkan kata-kata suci lagi murni, sebab ia tercipta dari untaian doa-doa yang dilantunkan.

Aku, merasakan derita yang menimpamu. Sebab pengalaman pernah membuatku serupa itu. Di antara peristiwa dan kabar berita, apa pun yang menimpa keadaan tanpa dihendaki, barangkali harus begitu adanya. Yang terjadi biarlah terjadi, sudah kuasa Ilahi demikian.

Dalam renungan, kedamaian datang menyirami telagamu yang mulai surut. Ketika maaf tersirat melalui keberanian, maka ketulusan menyadarkan untuk memaafkan dirimu dahulu. Buatlah telagamu menjadi samudera yang jernih lagi penuh, karena di sanalah tempat kamu membasuh luka sembari menyeka haus menerpa, di sana pula kamu bisa melegakan dahaga dan luka sesama. 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama