Kawan...
Sempatku merasa asing di wilayah tempat asal lahir sendiri, bagai tersesat di kedalaman semesta raya. Kakiku seolah tak berpijak di tempatnya, "hambar" komentar hati tersembunyi. Sulit tergambar perasaan kala kali pertama berhadapan dengan keadaan yang jauh dari ekspektasi, tak terduga sebelumnya. Entah dari segi tatanan bahasa, lingkungan, pun orang sekitar, nampak berbeda dari pergaulan lama. Aku atau merekakah terlihat aneh, tak bisa diputuskan. Namun dari sudut pandangku, kesan pertama tiadalah istimewa. Dugaanku, ini sebuah langkah awal pengaplikasian ilmu semasa sekolah. "Batu loncatan," begitu orang menyebut.
Jika
ditelisik secara kasat mata, gelar di ujung namaku memanglah tepat
dengan lingkungan sekarang. Hanya ketidakrelaan belum memutuskan
hubungan nyata di kota perantauan. Jiwaku seolah tertawan bersama gedung
perkantoran dan kesemrawutan jalanan ketika hari kerja, beserta segala
kesibukan yang kejar-mengejar dalam menuntaskan sebuah misi. Dan, aku
terlanjur menyatu dengan teriakan kendaraan di tengah kemacetan, menjadi
wakilku dalam menyuarakan kegelisahan.
Usaha
bertahan di perantauan, harus patah dalam beberapa waktu saja. Larangan
orang tua mewujud belenggu menahan langkah. Segala sakit bukan hanya
kurasai di sekujur badan, seluruh pikiran dan perasaan terenggut dari
kediamannya. Kosong... Hampa... Rapuh... Semua bersemayam mengambil
peran, tinggal rangka luar.
Mengatasnamakan 'bakti anak terhadap orang tua', jadilah saran mereka kuturuti agar tidak timbul khawatir lagi ketika anak jauh dari pandangan. Sayang, pijakanku di tempat yang disarankan seolah menggantung, tak menyentuh tanah. Tersisa kaku, tanpa bisa basi basi layaknya anak rantau baru kembali.
Butuh upaya tertatih bagiku mengalahkan ego, mengubur mimpi, dan membasmi berbagai godaan yang mengajak menanggalkan tempat asal. Barangkali itu penyebab transmisiku tersendat atau karna lubang galiannya terlalu dangkal. Ragaku coba selami lebih dalam, profesi yang terlanjur tersanding bersama waktu, menjadikan organ tubuh terbiasa dengan atmosfer sekitar, dan berdamai di setiap hembus napas.
Melalui sebuah hubungan kedekatan, memantik lentera ruang kalbu untuk kembali terang, berbaikan dengan luka hati tersimpan, dan menyatukan bahasa dalam himpunan kata 'pengertian.' Seiring kebersamaan serta keakraban yang terjalin dalam lingkungan pekerjaan, kita menjadi bagian satu sama lain. Bahkan saling bertukar impian masing-masing, membuat jiwa 'pemimpi' dalam diriku tergerak dan bangkit lagi. Beragam situasi kita lalui, suka duka mewarnai hari-hari. Adanya kebersamaan diisi dengan makanan tersedia, baik dibuat bareng dari dapur kantor, dibawa dari rumah masing-masing, ataupun beli matang. Makanan itulah simbol meleburkan kekakuan, diiringi lempar candaan dan kekonyolan yang sengaja ditularkan. Tak jarang, istilah awam menambahi kamus bahasa daerah 'wong kite.'
Di tengah halaman, sengaja kita tanami aneka bunga berwarna, yang akhirnya pohon lengkeng-lah sang primadona. Canda tawa kita menjelma pupuk menyuburkan taman kecil itu, kian meneduhkan tatapan pada hijaunya lingkungan.
Kala pelepasan atas anak didik menyandang predikat lulus, kita pun larut dalam suka cita, turut membahagia dalam balutan kostum yang kompak dibeli satu ragam. Maka, kian lengkap saja gaya berswafoto ala kita mencoba berbagai ekspresi. Tak hentinya bibir merekah menandakan kepuasan, seolah hari sedang berpihak pada kita.
Matahari memang tidak selalu cerah, begitupun hubungan antara kita. Terkadang perselisihan harus terjadi akibat pertanggungjawaban tak terselesaikan, pun perdebatan mencuat demi melindungi prinsip berseberangan. Pernah juga kata dan sikap menjadi duri persinggungan. Anehnya, kita masih tetap berkata-kata di antara makanan yang dikunyah.
Sampai pada suatu masa terjadilah perubahan, tanpa kita sadari bahwa semua keadaan yang dilabeli tanda 'nyaman' bisa menjebak. Bagai membalik telapak tangan, segala suasana, kondisi, dan ritual kebersamaan kita berubah sekedipan mata, oleh pergantian kekuasaan tak terduga. Kondisi itu amatlah menghentakkan, terlebih mengoyak 'dunia kita.' Lalu, satu persatu mulai luruh pergi membungkus puing-puing pertahanan diri. Air mata tertahan di kerongkongan, dada membatu menahan dorongan di dasar hati, namun kakiku tetap tertanam tak beranjak.
Kawan...
Nama-nama baru mulai menggantikan secepat musim rambutan. Mungkin dari sudut pandangmu, itu akan menambah pertemanan, tapi tidak mengembalikan 'persaudaraan' sama yang membuatku meringan sampai detik ini. Sempat sekawanan lain yang mendiami asrama, menciptakan chemistry antara kami hingga membentuk ceria baru.
Kami melangkah, mengisi setiap pengerjaan apa pun secara kompak. Penghabisan hari hampir selalu ditanggung bersama, supaya merata beban satu sama lain. Adanya kurang salah satu, akan digenapkan di antara kami berlima. Sayang, harmonisasi hubungan ternyata hanya bertahan semasa mekar bunga mangga di halaman. Jadilah pondasi bangunanku merapuh kembali, sebab support system yang mendampingi tiada lagi. Ironisnya, kami tercerai oleh badai tak terduga setelah masa indah menghirup sejuk Citaman nan damai. Dan, sesalnya kaki maupun pikiranku masih tertawan, seolah ingkar pada kesepakatan kami semula.
Kumerasa kosong di sana sini. Setiap tempat pernah kita singgahi, membekas dan tergambar jelas. Segala gerak serta suara, menggema di sudut ruang kuberpijak. Pergantian sekian persen apa pun itu menyerang jantung, melemahkan sendi gerakku. Bukan tidak mampu menyelesaikan pekerjaan sendiri, tapi perjuangan menghadapi kepahitan ini terlalu berat bila dilalui seorang saja. Sementara, jiwa pemimpi dalam diri telah lama menggedor-gedor ruangnya agar dibebaskan, tapi rutinitasku serupa kendali yang disetel. Bila kau lihat kondisiku, tentu akan menghela napas penuh sesak.
Kawan...
Segala kenang hanya rindu berjarak, sebab akrab tak mungkin lagi membersamai. Dengan tempat berbeda, aktivitas tak lagi bisa kita satukan, obrolanpun belum tentu di arah yang sama. Rindu tetaplah rindu karena menjadi orang yang kehilangan dan mengingat kenangan, tapi marilah saling mendoakan untuk kebaikan masing-masing. Doa dan harapan ingin kau baik-baik selalu, sukses dan lancar mengiringi setiap urusanmu. Dan, sudikah pula kau doakan kebaikanku, tanpa perlu mengingatkan supaya bersabar dan kuat menahan. Sirami saja aku dengan bermacam semangat meraih mimpi dan fokus pada tujuan. Sebab pilihanku akan menjadi tanggung jawab sendiri, maka cukup Allah yang memberikan petunjuk-Nya.